Selasa, 04 September 2012

"satu lagi yang Allah kirim"


            Brrm brrm… Cklk.
            Itu pasti dia.
            Rin melonjak cepat dari sofa teras lantai dua rumahnya, buru-buru ia lari menuruni tangga menciptakan gedebug berisik. Tidak hanya sampai di situ, Rin berlari di dalam rumah menuju ruang tamunya lalu berhenti mendadak tepat di balik pintu rumahnya yang tertutup. Hembusan nafasnya yang memburu membuatnya harus menarik nafas panjang terlebih dahulu. Secepat kilat ia membenahi poninya yang sedikit berantakan karena aksinya tadi.            
            Relax, Rin…, relax.
            Cklk.
            “Assalamualaikum…” sambut Rin dengan senyum gembira.
            “Waalaikumsalam. Haha kamu ini Rin, belum-belum udah ngucapin salam duluan, kan aku yang harusnya bilang assalamualaikum. Baru juga mau ketuk pintu, eh udah dibukain sama putri cantik.”
            “Hihii, gombal kamu nih.” Rin menutupi pipinya yang bersemu dengan buru-buru membalikan badan menuju sofa.
            “Ciyeee pipinya meraaaaaah.” Godanya semakin parah.
            “Sekali lagi kamu godain aku, aku timpuk pakai bantal!” Ancam Rin.
            “Alaaah lagaknya nggak mau digoda. Bener nih? Yakin? Yaudah aku pulang aja deh.”
            “Eh, eh. Jangaaaan…” Rin merajuk memegang lengan pacarnya.
            “Biarin aja, daripada ditimpuk bantal sama kamu.”
            “Oh jadi lebih milih pulang nih daripada ketemu aku.” Giliran Rin pura-pura ngambek.
            “Eh, eh… Kok jadi kamu yang ngambek?”
            “Abiiiiiiiissss…” Rin manyun.
            Tanpa membalas lagi laki-laki itu mengusap kepala Rin penuh kasih dan rindu sambil menyunggingkan senyum manis di wajahnya.
            “Awas kamu kalau pulang!” Ancam Rin sambil menodongkan jari telunjuknya ke depan wajah sang pacar.
            “Iya-iya enggak, tapi ada syaratnya dong.”
            “Males ah syarat-syaratan segala!”
            “Yaudah pulang aja yaa…”
            “Ish, iya deh apa syaratnya?”
            “Sungkem dulu dong, masa’ habis lebaran enggak sungkem ke pacarnya.”
            Rin menepuk jidatnya. “Oh iya lupaaa!! Maafin Rin ya, Dioooooon” Gaya bicara Rin yang kekanak-kanakan mulai muncul.
            “Udah? Cium tangan doang?”
            “Yang penting minta maaf kan?”
            “Aku bilang sungkem sayaaang, sungkem, bukan salim.”
            “Halaaaah malu ah.”
            “Sungkem atau pulang?”
            “Ancem aja terus!” Rin melipat tangan di depan dadanya sambil memanyunkan bibir bawahnya.
            Dion hanya tersenyum, ikut-ikut melipat kedua tangannya di depan dada sambil menaikkan salah satu alisnya.
            “Hhhhh, iya deh. Tapi jangan ketawa! Awas kamu kalo ketawa!” Rin akhirnya menyerah.
Ia turun dari sofa, menjadikan lututnya sebagai tumpuan untuk berlutut di depan pacarnya. Dengan sedikit canggung ia menggenggam tangan Dion dan membenamkan wajah di atasnya.
Hening…
Hening…
“Kok nggak ngomong apa-apa?” Tanya Dion heran.
“Bjahsauwte afhdgsaue akiqpe nfdjshy lasf uwtut pqiu wtytr iqu wttr vjcdg kjajoi jsg.” Gumam Rin.
“Hah? Apaan? Nggak jelas ah.”
“Dah!” Rin mendongakkan kepalanya menatap Dion dengan wajah lugu.
“Udah? Dasar kamu, ulangin. Ngomong apaan tadi aku nggak denger.”
“Salah sendiri kuping nggak pernah dibersihin.” Rin berdiri dan kembali duduk di sofa dengan menghentakkan badannya.
“Nggak nyadar badan kebo main banting-banting badan aja, mental kan aku.”
“Dioooooooon!!!!” Rin mengambil bantal sofa dan melemparkannya ke bahu Dion.
“Aw aw, aduh! Iya iyaaa badannya langsing kaya barbie.”
“Bohong! Orang aku aja sadar kalau aku agak gendutan.”
“Nah kalau sadar kok marah dikatain segendut kebo?”
“Soalnya aku cuman segendut semut!” Rin berkata sok imut sambil mengerjap-ngerjapkan matanya, membuat bulu matanya yang lentik terlihat mempesona.
“Wah fitnah tuh fitnah.”
Begitulah keributan dan adu mulut terus  terjadi. Tidak pernah ada hari mereka bertemu tanpa saling mengejek dan debat kusir. Namun itulah yang membuat Rin nyaman, sosok Dion yang selalu mau menanggapi omongan Rin yang kadang tidak bermutu sama sekali. Rin suka sosok Dion yang menjadi dirinya sendiri tanpa menunjukkan sikap palsu di depannya, sangat serasi dengan pribadi Rin yang tidak bisa menjaga attitude di depan orang lain.
“Tauk ah! Sekarang gantian dong kamu yang sungkem ke aku. Kamu nggak nyadar apa banyak salah ke aku, hm?” Rin balik menantang Dion.
“Apaan, masak cowok sungkem sama cewek.”
Rin hanya melipat tangannya di depan dada dan memelototi Dion.
“Iya iyaaa…” Dion berlutut di depan Rin lalu meraih tangan kanannya.
Dengan tulus Dion mencium hormat punggung tangan Rin. Ia menghela nafas, ia ingin mengutarakan banyak hal. Permintaan maaf atas sikapnya selama ini yang pernah menyakiti Rin. Namun tidak ada yang bisa ia ucapkan. Perlahan-lahan airmatanya justru menggenangi pelupuk. Dion tidak berusaha menahan airmatanya sama sekali, ia biarkan airmatanya mengalir di punggung tangan Rin.
Rin merasakan punggung tangannya basah, raut wajah yang semula tersipu-sipu dan tersenyum lucu seperti anak kecil berubah empati. Kedewasaan yang tersembunyi di dalam dirinya selama ini muncul menghiasi raut manisnya.
Perlahan Rin ikut turun dari sofa, mengusap lembut kepala Dion yang masih bertahan di punggung tangannya.
“Sayang, ada apa?” Rin bertanya halus.
Perlahan-lahan Dion mendongakkan wajahnya menatap Rin yang keheranan.
“Mau cerita?” tambah Rin.
Dion mengangguk. Rin menggandeng tangan Dion dan mengajaknya ke halaman tengah rumah. Tempat khusus yang selalu mereka pakai saat ingin bercerita sesuatu yang penting. Rin mengajaknya duduk di atas rumput jepang yang tumbuh segar dan hijau di sana.
Rin mengusap airmata dari pipi Dion. Baru sekali ini ia melihat pacarnya menangis di hadapannya setelah lima bulan merajut kasih. Namun sekeras apapun Rin berusaha mengusap air mata dari pipi Dion, lagi-lagi airmata mengalir dan terus mengalir. Wajahnya memerah, matanya mulai sembab. Rin khawatir dan bertanya-tanya dalam hati. Namun ia membiarkan dulu Dion meluapkan emosinya, Rin tahu Dion akan cerita ketika siap.
“Aku…” Dion mencoba berucap ditengah sengguknya.
Rin menggenggam erat tangan Dion.
“Aku kangen Mama…” Tangisnya meledak lagi. Kali ini lebih pilu dan menyayat. Rin hanya berani menunggu lanjutan ceritanya sambil tetap menggenggam erat tangan Dion.
“Waktu aku berlutut di kakimu… Sosok mama… Tiba-tiba hadir… Aku merindukannya.... Ini adalah tahun kedua aku tidak bisa berlutut di kaki Mama… Aku tidak bisa mengucapkan permintaan maaf atas kesalahan-kesalahanku lagi… Aku tidak bisa mencium tangannya lagi…”
Rin ikut meneteskan airmatanya. Cepat-cepat ia mendekap kekasihnya, mencoba memberinya ketegaran.
“Dulu… Setiap lebaran, aku selalu sungkem Mama dan Papa… Mama selalu mengusap kepalaku dan memelukku, Papa selalu menepuk pundakku sambil memberikan nasihat-nasihatnya. Aku kangen.”
“Sayaaaang, yang tegar. Papa dan Mama pasti memaafkan kesalahan-kesalahanmu bahkan sebelum kamu meminta maaf. Doain Papa Mama. Mereka pasti bahagia di surga.” Rin mengusap punggung Dion sambil berbisik.
“Aku masih sering bertanya-tanya kenapa Allah menjemput Mama dan Papa secepat itu? Kenapa Allah menjemput Mama dan Papa saat aku benar-benar membutuhkan bimbingan dan dukungan mereka untuk ujian SMP-ku? Untuk kelanjutan hidupku. Kenapa…”
“Ssssst… Nggak boleh gitu ah. Allah Maha Segalanya, Ia tahu yang terbaik, Ia pasti ingin memberikan yang terbaik. Dibalik kesedihan yang timbul pasti akan ada kebahagiaan nantinya. Allah punya maksud, kamu cuma harus bertahan biar kamu tau kenapa Allah melakukan ini ke kamu?”
“Tapi aku nggakbisa kuat tanpa orangtuaku, Rin.”
“Hey, kamu kuat. Kamu udah buktiin itu selama dua tahun ini. Walaupun Papa dan Mama udah nggak di sini, tapi kamu tahu, Papa Mama tetep sayang sama kamu. Mereka tetep jaga kamu dari surga.”
“Lewat apa?” Dion melepaskan pelukan Rin lalu menatap sendu wajahnya.
Rin tersenyum lembut.
“Lewat keluargamu, lewat sahabat-sahabatmu, lewat temen-temenmu. Mereka sayang sama kamu, mereka mau dukung kamu. Bahkan dulu saat masa-masa sulit itu datang mereka ada memberimu kekuatan, kan? Allah, Papa dan Mama sudah mengirimkan mereka untuk menguatkanmu.” Rin mengusap pipi Dion yang banjir airmata.
Dion mulai berhenti menangis, berhenti protes.
“Habis ini aku temenin ke makam Papa Mama, ya? Aku juga pengin sungkem sama mereka. Masa’ aku sungkemnya sama kamu doang, nanti Papa sama Mama envy dong, nanti aku nggak direstuin sama Papa Mama buat jadi pacar kamu, kan cediiiiih.” Rin mulai menghangatkan suasana.
Dion tertawa. Walau singkat, Rin tahu tawa itu tulus. Airmata tidak lagi mengalir ke pipinya.
“Yuk sekarang aja ke makamnya, keburu kesorean.” Rin menggandeng tangan Dion dan berusaha menarik Dion agar berdiri.
Dion berdiri tepat di depan Rin, senyumnya mengembang, membuatnya terlihat sangat tampan dengan pipi dan hidungnya yang masih merah.
Dengan penuh kasih ia menggenggam kedua tangan Rin.
“Satu lagi yang Allah, Papa dan Mama kirim buat aku dan belum kamu sebut.”
“Oh ya? Ada lagi?” Rin bertanya polos sambil berfikir.
“Kamu…”
Wajah Rin yang semula bingung berubah semu. Senyum menghias tulus raut manisnya, kini giliran pelupuk matanya yang mulai tergenangi air.
“Ehm, masih mau nangis dulu? Yaudah yuk duduk lagi, gantian kamu yang curhat.” Goda Dion.
Rin memukul dada Dion pelan lalu cepat-cepat mengusap matanya.
“Pulang aja sana!!” Suara nyaring Rin membuat Dion tertawa mendengarnya.
“Ngambek teruuuus, nanti nggak direstuin loo sama Papa Mamaa…”
“Yaaah, jangan gitu doooong… Iya deh iya enggak ngambek. Piiiis…” Rin mringis sambil membentuk huruf V dengan jari telunjuk dan tengah di samping pipinya.
“Hahaha, yuk.” Dion merangkul pundak Rin.
“Cuuuuus!” Rin menjawab centil, melingkarkan tangan di pinggang Dion lalu berjalan beriringan menuju garasi dengan penuh senyum, rasa syukur dan rasa sayang yang makin besar di hati mereka masing-masing.


Satu lagi yang Allah kirim untuk mereka berdua, cinta.