Selasa, 04 September 2012

"satu lagi yang Allah kirim"


            Brrm brrm… Cklk.
            Itu pasti dia.
            Rin melonjak cepat dari sofa teras lantai dua rumahnya, buru-buru ia lari menuruni tangga menciptakan gedebug berisik. Tidak hanya sampai di situ, Rin berlari di dalam rumah menuju ruang tamunya lalu berhenti mendadak tepat di balik pintu rumahnya yang tertutup. Hembusan nafasnya yang memburu membuatnya harus menarik nafas panjang terlebih dahulu. Secepat kilat ia membenahi poninya yang sedikit berantakan karena aksinya tadi.            
            Relax, Rin…, relax.
            Cklk.
            “Assalamualaikum…” sambut Rin dengan senyum gembira.
            “Waalaikumsalam. Haha kamu ini Rin, belum-belum udah ngucapin salam duluan, kan aku yang harusnya bilang assalamualaikum. Baru juga mau ketuk pintu, eh udah dibukain sama putri cantik.”
            “Hihii, gombal kamu nih.” Rin menutupi pipinya yang bersemu dengan buru-buru membalikan badan menuju sofa.
            “Ciyeee pipinya meraaaaaah.” Godanya semakin parah.
            “Sekali lagi kamu godain aku, aku timpuk pakai bantal!” Ancam Rin.
            “Alaaah lagaknya nggak mau digoda. Bener nih? Yakin? Yaudah aku pulang aja deh.”
            “Eh, eh. Jangaaaan…” Rin merajuk memegang lengan pacarnya.
            “Biarin aja, daripada ditimpuk bantal sama kamu.”
            “Oh jadi lebih milih pulang nih daripada ketemu aku.” Giliran Rin pura-pura ngambek.
            “Eh, eh… Kok jadi kamu yang ngambek?”
            “Abiiiiiiiissss…” Rin manyun.
            Tanpa membalas lagi laki-laki itu mengusap kepala Rin penuh kasih dan rindu sambil menyunggingkan senyum manis di wajahnya.
            “Awas kamu kalau pulang!” Ancam Rin sambil menodongkan jari telunjuknya ke depan wajah sang pacar.
            “Iya-iya enggak, tapi ada syaratnya dong.”
            “Males ah syarat-syaratan segala!”
            “Yaudah pulang aja yaa…”
            “Ish, iya deh apa syaratnya?”
            “Sungkem dulu dong, masa’ habis lebaran enggak sungkem ke pacarnya.”
            Rin menepuk jidatnya. “Oh iya lupaaa!! Maafin Rin ya, Dioooooon” Gaya bicara Rin yang kekanak-kanakan mulai muncul.
            “Udah? Cium tangan doang?”
            “Yang penting minta maaf kan?”
            “Aku bilang sungkem sayaaang, sungkem, bukan salim.”
            “Halaaaah malu ah.”
            “Sungkem atau pulang?”
            “Ancem aja terus!” Rin melipat tangan di depan dadanya sambil memanyunkan bibir bawahnya.
            Dion hanya tersenyum, ikut-ikut melipat kedua tangannya di depan dada sambil menaikkan salah satu alisnya.
            “Hhhhh, iya deh. Tapi jangan ketawa! Awas kamu kalo ketawa!” Rin akhirnya menyerah.
Ia turun dari sofa, menjadikan lututnya sebagai tumpuan untuk berlutut di depan pacarnya. Dengan sedikit canggung ia menggenggam tangan Dion dan membenamkan wajah di atasnya.
Hening…
Hening…
“Kok nggak ngomong apa-apa?” Tanya Dion heran.
“Bjahsauwte afhdgsaue akiqpe nfdjshy lasf uwtut pqiu wtytr iqu wttr vjcdg kjajoi jsg.” Gumam Rin.
“Hah? Apaan? Nggak jelas ah.”
“Dah!” Rin mendongakkan kepalanya menatap Dion dengan wajah lugu.
“Udah? Dasar kamu, ulangin. Ngomong apaan tadi aku nggak denger.”
“Salah sendiri kuping nggak pernah dibersihin.” Rin berdiri dan kembali duduk di sofa dengan menghentakkan badannya.
“Nggak nyadar badan kebo main banting-banting badan aja, mental kan aku.”
“Dioooooooon!!!!” Rin mengambil bantal sofa dan melemparkannya ke bahu Dion.
“Aw aw, aduh! Iya iyaaa badannya langsing kaya barbie.”
“Bohong! Orang aku aja sadar kalau aku agak gendutan.”
“Nah kalau sadar kok marah dikatain segendut kebo?”
“Soalnya aku cuman segendut semut!” Rin berkata sok imut sambil mengerjap-ngerjapkan matanya, membuat bulu matanya yang lentik terlihat mempesona.
“Wah fitnah tuh fitnah.”
Begitulah keributan dan adu mulut terus  terjadi. Tidak pernah ada hari mereka bertemu tanpa saling mengejek dan debat kusir. Namun itulah yang membuat Rin nyaman, sosok Dion yang selalu mau menanggapi omongan Rin yang kadang tidak bermutu sama sekali. Rin suka sosok Dion yang menjadi dirinya sendiri tanpa menunjukkan sikap palsu di depannya, sangat serasi dengan pribadi Rin yang tidak bisa menjaga attitude di depan orang lain.
“Tauk ah! Sekarang gantian dong kamu yang sungkem ke aku. Kamu nggak nyadar apa banyak salah ke aku, hm?” Rin balik menantang Dion.
“Apaan, masak cowok sungkem sama cewek.”
Rin hanya melipat tangannya di depan dada dan memelototi Dion.
“Iya iyaaa…” Dion berlutut di depan Rin lalu meraih tangan kanannya.
Dengan tulus Dion mencium hormat punggung tangan Rin. Ia menghela nafas, ia ingin mengutarakan banyak hal. Permintaan maaf atas sikapnya selama ini yang pernah menyakiti Rin. Namun tidak ada yang bisa ia ucapkan. Perlahan-lahan airmatanya justru menggenangi pelupuk. Dion tidak berusaha menahan airmatanya sama sekali, ia biarkan airmatanya mengalir di punggung tangan Rin.
Rin merasakan punggung tangannya basah, raut wajah yang semula tersipu-sipu dan tersenyum lucu seperti anak kecil berubah empati. Kedewasaan yang tersembunyi di dalam dirinya selama ini muncul menghiasi raut manisnya.
Perlahan Rin ikut turun dari sofa, mengusap lembut kepala Dion yang masih bertahan di punggung tangannya.
“Sayang, ada apa?” Rin bertanya halus.
Perlahan-lahan Dion mendongakkan wajahnya menatap Rin yang keheranan.
“Mau cerita?” tambah Rin.
Dion mengangguk. Rin menggandeng tangan Dion dan mengajaknya ke halaman tengah rumah. Tempat khusus yang selalu mereka pakai saat ingin bercerita sesuatu yang penting. Rin mengajaknya duduk di atas rumput jepang yang tumbuh segar dan hijau di sana.
Rin mengusap airmata dari pipi Dion. Baru sekali ini ia melihat pacarnya menangis di hadapannya setelah lima bulan merajut kasih. Namun sekeras apapun Rin berusaha mengusap air mata dari pipi Dion, lagi-lagi airmata mengalir dan terus mengalir. Wajahnya memerah, matanya mulai sembab. Rin khawatir dan bertanya-tanya dalam hati. Namun ia membiarkan dulu Dion meluapkan emosinya, Rin tahu Dion akan cerita ketika siap.
“Aku…” Dion mencoba berucap ditengah sengguknya.
Rin menggenggam erat tangan Dion.
“Aku kangen Mama…” Tangisnya meledak lagi. Kali ini lebih pilu dan menyayat. Rin hanya berani menunggu lanjutan ceritanya sambil tetap menggenggam erat tangan Dion.
“Waktu aku berlutut di kakimu… Sosok mama… Tiba-tiba hadir… Aku merindukannya.... Ini adalah tahun kedua aku tidak bisa berlutut di kaki Mama… Aku tidak bisa mengucapkan permintaan maaf atas kesalahan-kesalahanku lagi… Aku tidak bisa mencium tangannya lagi…”
Rin ikut meneteskan airmatanya. Cepat-cepat ia mendekap kekasihnya, mencoba memberinya ketegaran.
“Dulu… Setiap lebaran, aku selalu sungkem Mama dan Papa… Mama selalu mengusap kepalaku dan memelukku, Papa selalu menepuk pundakku sambil memberikan nasihat-nasihatnya. Aku kangen.”
“Sayaaaang, yang tegar. Papa dan Mama pasti memaafkan kesalahan-kesalahanmu bahkan sebelum kamu meminta maaf. Doain Papa Mama. Mereka pasti bahagia di surga.” Rin mengusap punggung Dion sambil berbisik.
“Aku masih sering bertanya-tanya kenapa Allah menjemput Mama dan Papa secepat itu? Kenapa Allah menjemput Mama dan Papa saat aku benar-benar membutuhkan bimbingan dan dukungan mereka untuk ujian SMP-ku? Untuk kelanjutan hidupku. Kenapa…”
“Ssssst… Nggak boleh gitu ah. Allah Maha Segalanya, Ia tahu yang terbaik, Ia pasti ingin memberikan yang terbaik. Dibalik kesedihan yang timbul pasti akan ada kebahagiaan nantinya. Allah punya maksud, kamu cuma harus bertahan biar kamu tau kenapa Allah melakukan ini ke kamu?”
“Tapi aku nggakbisa kuat tanpa orangtuaku, Rin.”
“Hey, kamu kuat. Kamu udah buktiin itu selama dua tahun ini. Walaupun Papa dan Mama udah nggak di sini, tapi kamu tahu, Papa Mama tetep sayang sama kamu. Mereka tetep jaga kamu dari surga.”
“Lewat apa?” Dion melepaskan pelukan Rin lalu menatap sendu wajahnya.
Rin tersenyum lembut.
“Lewat keluargamu, lewat sahabat-sahabatmu, lewat temen-temenmu. Mereka sayang sama kamu, mereka mau dukung kamu. Bahkan dulu saat masa-masa sulit itu datang mereka ada memberimu kekuatan, kan? Allah, Papa dan Mama sudah mengirimkan mereka untuk menguatkanmu.” Rin mengusap pipi Dion yang banjir airmata.
Dion mulai berhenti menangis, berhenti protes.
“Habis ini aku temenin ke makam Papa Mama, ya? Aku juga pengin sungkem sama mereka. Masa’ aku sungkemnya sama kamu doang, nanti Papa sama Mama envy dong, nanti aku nggak direstuin sama Papa Mama buat jadi pacar kamu, kan cediiiiih.” Rin mulai menghangatkan suasana.
Dion tertawa. Walau singkat, Rin tahu tawa itu tulus. Airmata tidak lagi mengalir ke pipinya.
“Yuk sekarang aja ke makamnya, keburu kesorean.” Rin menggandeng tangan Dion dan berusaha menarik Dion agar berdiri.
Dion berdiri tepat di depan Rin, senyumnya mengembang, membuatnya terlihat sangat tampan dengan pipi dan hidungnya yang masih merah.
Dengan penuh kasih ia menggenggam kedua tangan Rin.
“Satu lagi yang Allah, Papa dan Mama kirim buat aku dan belum kamu sebut.”
“Oh ya? Ada lagi?” Rin bertanya polos sambil berfikir.
“Kamu…”
Wajah Rin yang semula bingung berubah semu. Senyum menghias tulus raut manisnya, kini giliran pelupuk matanya yang mulai tergenangi air.
“Ehm, masih mau nangis dulu? Yaudah yuk duduk lagi, gantian kamu yang curhat.” Goda Dion.
Rin memukul dada Dion pelan lalu cepat-cepat mengusap matanya.
“Pulang aja sana!!” Suara nyaring Rin membuat Dion tertawa mendengarnya.
“Ngambek teruuuus, nanti nggak direstuin loo sama Papa Mamaa…”
“Yaaah, jangan gitu doooong… Iya deh iya enggak ngambek. Piiiis…” Rin mringis sambil membentuk huruf V dengan jari telunjuk dan tengah di samping pipinya.
“Hahaha, yuk.” Dion merangkul pundak Rin.
“Cuuuuus!” Rin menjawab centil, melingkarkan tangan di pinggang Dion lalu berjalan beriringan menuju garasi dengan penuh senyum, rasa syukur dan rasa sayang yang makin besar di hati mereka masing-masing.


Satu lagi yang Allah kirim untuk mereka berdua, cinta.

Kamis, 16 Februari 2012

Story with Lesson!


            Heii... huff bentar yaa –ngibas-ngibasin rambut sambil ngibas-ngibasin tangan— (emangbisa?) *never mind!
            Guys, hari ini aku lagi pengen menuh-menuhin blog-ku yang masih *iuuuh* bangeets *ups alay*. Makasih buat kalian yang penasaran, mau buka blog-ku dan baca ini.
            16 Februari 2012 -16:38
            Dear diary *iiiuuuh keduakali*
            Aku habis gowes, keliling komplek perumahanku yang bisa dibilang luaaaaaas banget nglebihin samudra pasifik *WTH!*, lumayan-lah gowes setengah jam bisa bikin keringet keluar dan ngurangin berat badan barang 1 ons *walaaa*. Padahal aku habis mandi looo u,u. Coba tanya kenapa TUMBEN sore ini aku mandi? *biasanya aku nggak pernah mandi sore* jorok! Soalnya, catet yaah... ini TERPAKSA! Rambutku kejatuhan PUP cicak. Dasar itu cicak nakaal bangets, lai enak-enak nonton TV sama Ibuk eeeh diganggu begitchu! :@ Semoga dosamu diampuni Allah, Cak. *buat temen gw yang nama panggilannya “cicak”, bukan kamu yang kamu maksud, CICAK BENERAN yang kumaksud, jangan salahpaham yaak :**
            Udah yaa cukup buat pengantar yang nggak penting ituh. *kenapa tulisan gw jadi alay gini seeh*. Hmm... story dan pelajaran yang aku dapet sore ini, dari gowes adalaaaaaaah.... BUAAANYAAAK!!
            Story-nya dulu yaa... Aku gowes pake kaos barong coklat plus boxer ungu, masang earphone di telinga dan muterin MP3 dari HP dan make crocs pink-ku buat alas kaki *pamer*. Dari sekian banyak lagu yang ada di memori hapeku, entah kenapa... 5 lagu terakhir yang kuputer selama gowes itu lagu menye semua. Nih, Pergi Cinta-nya Audy, Tentang Kita-nya Peterpan, Pertemuan Singkat-nya Vierra, sama Please Don’t Leave Me-nya Pink. *4 lagu ding maap salah ngitung*. Menye semua kan? Diliat dari judulnya juga udah keliatan –‘.
            Nah, pas aku lagi muter-muter ni yaa... banyak banget orang-orang ngliatin aku. *pede* tapi serius looh. Mungkin gara-gara aku satu-satunya orang yang gowes sore ini *atau gara2 warna baju gw KAGAK MATCH BLAS* :3
            Terus, kan aku rute-nya mo ke taman tulang –taman yang bentuknya kayak tulang di depan perumahanku—, kalo mau ke situ pasti nglewatin tukang leker yang selalu ada aja pembelinya. Di situ, ada mas-mas sama mbak-mbak pacaran yang lagi ngantri beli leker, si embak ngadep ke tukang leker dan si emas ngadep ke jalan. Eeeeh emasnya ngliatin aku sampee matanya mo copoot *hiperbol ini gw lebay doang!*. Aku biarin ajaalah. Trus udah sampe aku ke taman tulang, aku cuman muter. Nggak brenti *ngapain juga brenti? mo ngeceng? pacar gw dikemanain!!*. Abis itu aku niat balik ke rumah, nah kan otomatis nglewatin tukang leker lagi yaah, eh itu si emas-embak masih ada di situ, dan LAGI-LAGI... masnya nggak ngalihin pandangan sedikitpun pas aku lewat *padahal lagi ngobrol sama si embak yang pacaranya itu looh*. Aku jadi mikir. Itu mas-mas playboy kali yaa *astaghfirullah, suudzon* -.-.
            Hmm, setelahnya, bukan mas itu lagi yang aku pikirin. Tapi COWOK! Ya cowok. Apakah semua cowok akan jelalatan ngliatin cewek-cewek cantik *ehm memuji diri sendiri* lewat WALAUPUN lagi ngobrol sama pacarnya? OMEGOT OMEGOT! bagaimana dengan pesekku? Apakah dia seperti? Simak liputannya setelah yang satu ini *paan seeeh*
            Yah sek, aku berdoa semoga kamu nggak jelalatan kaya emas-nya tadi yaa... nggak rela aku >.< AWAS KE! Juga berdoa buat pacarnya sahabat dan temen2ku... Semoga pacar kalian tidak akan mengalihkan pancangan dari kalian u.u
            OK! Finish masalah cowok. Pelajaran kedua yang aku dapet, ternyata... banyak orang yang keluar kalo sore *ndeos amat sih gw*! Haha gini loo maksudnya, ternyata... banyak orang tua yang rela ngluangin waktu buat jalan-jalan barang muterin kompleks sama anak2 dan keluarganya. Bahkan tadi aku sempet liat satu keluarga *bapak-ibuk-anak- lagi nongkrong di taman tulang, nah si anak sibuk ngliatin ibunya yang sibuk nyabutin uban di rambut bapaknya. SERIUS! Trus ada juga Ibu-ibu pada ndulang anaknya makan, ada ibuk-ibuk ndorong kereta bayi ngajak bayinya jalan-jalan biar nggak buta dunia, ada juga kakek-kakek yang lagi jalan-jalan sama cucunya *kangen mbahkung yangkung eh :’(* (Rise In Peace yaa Grandpa I love YOU BOTH!).
            Back to the topic. Ternyata hidup itu lebih rame kalo kita mau ngliat ke dunia luar. Yang tadinya sumpek jadi longgar, yang tadinya judek jadi seneng, yang tadinya buta jadi bisa ngliat... pokoknya banyak deh yang bisa kita ambil pelajaran dari hidup kita yang nggak lama ini. Semoga kalo kalian semua lagi pada maen, nggak lupa buat ngambil cerita dan pelajarannya yaa :)
            Udah maghrib guys! Yuk pada sholat! Dosa loo kalo enggak. Inget neraka yaa jangan cuma surga aja *apalagi surga dunia* beuuuh.!!!
            Cukup deh segini aja... Kalo ada cerita lagi, aku share buat kalian.

With love
Langit Hijau *yang lagi nunggu SMS dari pesek yang lagi seneng2 di acara ultah temennya. Seek cepet pulaaaang u,u*

           

Kupu-kupu itu... Ungu



            Jari-jari kaki ini
            bergerak tanpa henti
            memberantaki lantai bumi
            penuh ranting jati

            Rinai menitik
            kena wajahku, sedikit... menggelitik

            Tak ada jera
            kerna mentari senja
            terus menerpa
            wajah penuh asa
           
            Lalu hinggaplah itu
            seekor indah berwana ungu
            mencumbu lemah jari tanganku
            kubiarkan waktu membeku
            kerna kutahu
            ini akan jadi akhir, jariku
            dicumbu kupu-kupu ungu

Langit Hijau, 16-02-2012, 15:18

Rabu, 15 Februari 2012

Kecubung Pengasihan

Danarto memberikan tema social, agama dan budaya dalam cerpen Kecubung Pengasihan ini. Banyak pembagian dari tema sosial tersebut diantaranya, kultur masyarakat Indonesia pada sekitar tahun 1965 (karena cerpen ini dibuat pada tahun 1968) yang masih berada di bawah garis kemiskinan; agama (pencarian hakikat ketuhanan), kebaikan dan keburukan dalam kehidupan, kritikan pada suatu keadaan masyarakat dan sebagainya.

Danarto adalah penulis yang suka membicarakan hal-hal serius dengan cara yang santai. Hal ini terlihat dari cara bercerita dalam cerpennya. Ia menggambarkan kesantaiannya dengan kejadian bunga-bunga yang dapat berbicara dan berkomunikasi dengan perempuan hamil itu. Sungguh imajinatif. Namun, sebenarnya di balik itu ada hal serius yang ingin dikemukakan oleh Danarto, seperti pengorbanan, dan kesengsaraan misalnya. Bunga-bunga itu rela berkorban dimakan si perempuan, demi reinkarnasi yang begitu abstrak.

Ketidakmampuan perempuan bunting itu dalam mencari makanan menunjukkan betapa sengsaranya masyarakat kalangan bawah pada masa itu. Hal ini dikaitkan dengan tahun dibuatnya cerpen. Pada tahun sekitar itu, adalah masa krisis moneter parah di Indonesia. Saat itu Indonesia mengalami inflasi, sampai-sampai menteri ekonomi mengadakan program sanering (pemotongan uang).

Kesabaran perempuan bunting dalam menghadapi kesengsaraan hidup akhirnya menghasilkan suatu kebahagiaan yang baginya lebih hakiki dibandingkan kebahagiaan di dunia. Kebahagiaan ini digambarkan dengan bertemunya perempuan bunting itu dengan banyak laki-laki yang ternyata semua lelaki tersebut adalah orang istimewa. Keistimewaan para lelaki tersebut seperti keistimewaan para nabi. Penderitaan dan kesengsaraan yang didapatnya di dunia semakin membuatnya merindukan Tuhan. Kepasrahannya terhadap hidup, membuat kerinduannya terhadap Tuhan pun tersampaikan juga. Ia akhirnya meninggal, dan bertemu dengan Tuhannya.

Langit dan Dandelion


            “Aku ingin menanyakan sesuatu.” Tiba-tiba laki-laki tampan dengan wajah yang sangat kusut menarik tanganku. Membuatku terpksa meninggalkan teman-temanku.
            “Bisakah kau lebih sopan?” Protesku sambil mengikuti jalannya yang tergesa, entah menuju ke mana.
            “Maaf, ini penting Ly.” Yaa... Selalu begini. Langit akan segera menarik tanganku –tidak peduli aku sedang apa— ketika dia ingin meminta pendapat-pendapatku.
            “Tidak dengan cara seperti tadi, Lang! Kau membuat teman-temanku kecewa karena aku belum membantu mencarikan solusi permasalahan yang mereka keluhkan.” Sanggahku dengan nafas tersengal akibat berjalan terlalu cepat.
            “Tolong, Ly...” Langit merajuk, menghentikan langkahnya lalu membalikkan tubuhnya yang tegap. Menghadap ke arahku.
            “Sial!” Umpatku. Bukan, bukan karena kesal. Hanay saja tatapan matanya selalu membuatku lantak dan tidak lagi bisa mengelak.
            Langit tersenyum simpul melihat reaksiku. Melanjutkan langkahnya dengan tetap menggandeng tanganku. Bedanya, kali ini tidak tergesa-gesa.
            Aku Dandely, Dandelion –sebenarnya—. Teman-temanku sering memanggilku Bunda Ly. Terdengar tua ya? Sebenarnya aku masih kelas 2 SMA, menjalani masa terindah remaja. Tidak ada yang kurasa spesial dariku. Hobbyku-lah yang membuatku memiliki panggilan “Bunda”. Aku suka menasehati, sangat suka. Ketika teman-temanku mengeluhkan hidup dan permasalahannya padaku, aku mendengarkan dan berusaha memberikan solusi terbaik. Untung, selama ini belum ada yang menjauhi atau membenciku karena solusiku tidak tepat atau malah membuat mereka tambah kesusahan. Kata mereka, aku seperti Ibu mereka yang suka memberi arahan hidup ketika melakukan kesalahan. Bedanya, mereka merasa lebih terbuka dan santai ketika berkeluh-kesah padaku.
            Langit? Tanya siapa dia. Dia adalah laki-laki yang paling sering memuntahkan uneg-uneg hidupnya padaku. Meminta jawaban dan solusi terbaik yang bisa kuberikan. Aku menyukainya? Ya!
Aku menyayanginya? Mungkin...
Aku mencintainya? Sama sekali tidak tahu.
Langit menyukaiku? Sangat!
Langit menyayangiku? Tentu.
Langit mencintaiku? Pasti!
Darimana aku tahu semua itu? Tentu saja dari-
            “Duduk.” Langit melepaskan tanganku dari gandengannya, membuyarkan fikiran-fikiranku.
            “Mulailah.” Pintaku sambil menguap. Ngantuk, bukan bosan –aku TIDAK AKAN pernah bosan bersamanya—.
            “Aku tidak lolos audisi.” Jawabnya lesu.
            “Haa?” Aku tidak mengerti.
            “Audisi menggitar yang itu lho...” Langit mencoba menyadarkanku.
            “Oh, aku ingat.”
            “Jariku telunjuk kiriku terisris pisau saat menyiapkan sarapan. Beberapa jam sebelum audisi!” Emosinya mulai muncrat.
            “Hidup itu tidak adil.” Keluhnya lagi.
            “Kenapa kau bilang begitu?”
            “Kalau saja Mama belum meninggal, jariku tidak akan teriris pisau pagi tadi. Aku tidak perlu menyiapkan sarapan untuk diriku sendiri. Mama bisa menolongku. Begitu juga dengan perhatiannya. Kalau saja Mama masih bersamaku, beliau pasti akan mendukungku untuk audisi ini. Memicu semangatku. Aku sangat tidak bersemangat hari ini.” Langit mengeluh panjang.
            “Hmm... Lang. Yang pertama, kalau saja Mama-mu masih ada, jarimu tidak teriris pisau. Namun apakah kamu menjamin jari Mama-mu tidak akan teriris juga?”
            “Aku tidak menjamin, tapi mungkin saja tidak. Beliau kan sangat hati-hati.”
            “Aku terima jawabanmu. Yang kedua, Mama-mu selalu bersamamu, Lang. Tidak dalam raga yang selalu ada di sampingmu, namun dalam jiwa, cinta dan kasih yang selalu menyesaki hatimu. Di sini.” Aku menaruh telapak tanganku di dadanya. Aku bisa merasakan degub jantungnya. Kencang.
            “Tapi aku rindu pelukannya.” Airmatanya mulai menggenang, terlihat jelas Langit berusaha keras menahannya.
            “Mengislah jika itu akan membuatmu lega.”
            “Aku tidak ingin menangis.” Elaknya.
            “Oh ya?” Godaku sambil tersenyum nakal.
            “Jangan tersenyum seperti itu.” Jawabnya sambil menahan tawa.
            “Kenapa? Aku membuatmu ingin selalu mengejarku dengan senyuman itu?” Aku masih belum berhenti menggodanya.
            “Hentikan itu, Ly!” Pintanya.
            “Haha...” Aku tergelak.
            “Aku tetap berfikir bahwa hidup tidak adil.”
            “Hmm...” Aku menghela nafas, berusaha mencari nasehat untuknya.
            “Kau pernah melihat tukan buah mengendarai motor dengan 2 keranjang besar di sisi kiri dan kanannya? Membuat lebarnya sama seperti mobil.” Lanjutku.
            “Ya... Lalu?”
            “Menurutmu, apakah itu berat?”
            “Kalau buahnya banyak dan keranjangnya penuh. Ya.”
            “Kau pernah melihatnya melintasi jalan raya yang sempit dan macet? Membuatnya sangat kesulitan ketika ingin mendahului kendaraan lain yang ada di depannya?”
            “Tidak.”
            “Kau bisa membayangkan?”
            “Tidak ingin.”
            “Biar aku yang jelaskan. Hidup itu, tidak bisa kita paksakan untuk selalu longgar dan nyaman. Ada kalanya kita harus terhenti untuk menunggu atau bahkan mencoba sesuatu yang lain. Seperti penjual buah tadi. Dia terbebani dengan buah-buah di keranjangnya, namun dia harus menjualnya ke kota. Harus melintasi jalan yang seperti tadi. Itu tidak akan mudah. Harus penuh kesabaran dan akal. Ketika dia ingin mendahului kendaraan lain, dia harus berusaha keras. Bisa saja, kendaraan dari lajur yang berlawanan menabraknya. Begitu juga dengan hidup. Tidak bisa terburu-buru. Aku tau kau pasti terburu-buru ketika menyiapkan sarapan tadi. Makanya jarimu teriris.”
            “Ya kau benar.”
            “Namun, sejauh apapun perjalanan itu, jika mau terus berusaha, pasti akan sampai. Seperti hidup, jangan kau patahkan semangatmu. Masih ada banyak kesempatan yang terbuka, kau bisa mencoba lagi, tetap berusaha dan tidak menyerah. Manusia sering kali terperosok, itu biasa. Ketika manusia itu bisa bangkit dan keluar dari keterperosokannya, itu yang luar biasa. Kau tidak mau hanya jadi laki-laki biasa kan?” Tanyaku.
            “Tentu saja. Aku mengerti sekarang.”
            “Hebat.” Pujiku.
            Hening. Tidak lagi ada percakapan. Langit tidak menjawab perkataanku. Hanya tiupan angin sepoi yang membuat daun-daun pepohonan di tepi lapangan ini sedikit bergemerisik. Aku mengedarkan pandanganku. Sekolah sudah sepi, memang sudah lewat satu jam waktu pulang sekolah. Biar saja.
            Aku terkejut.
            “Sejak kapan dandelion tumbuh di sekolah kita?” Tanyaku.
            “Sudah lama.”
            “Benarkah?”
            “Aku pernah membohongimu?”
            “Tidak...” Aku berlari kecil, mengambil sebatang bunga dandelion dan membawanya duduk lagi di sebelah Langit.
            “Kamu tau kenapa aku suka namaku?” Tanyaku pada Langit.
            “Karena kamu ingin seperti bunga itu.”
            “Kamu tahu kenapa aku ingin seperti bunga ini?”
            “Indah, mungkin.”
            Aku menggeleng. “Karena ketika ada orang yang meniup ini, serpihannya akan tumbuh dandelion lain di tanah yang lain, dandelion tidak akan pernah habis.” Ujarku lalu meniup pelan dandelion di tanganku.
            “Apa hubungannya denganmu?”
            “Ya... Aku ingin, ketika suatu saat nanti aku mati, akan ada “aku” lain yang bisa membantu banyak orang dan bisa menjadi seorang psikolog. Cita-cita yang tidak akan pernah bisa kucapai.” Jawabku lemah.
            “Hei, jangan mulai lagi.”
            “Apa?”
            “Katamu tidak boleh putus asa? Katanya harus tetap berjuang untuk mencapai sesuatu yang kita inginkan.” Langit membalikkan nasehatku.
            “Lang... Untuk urusan ini, sangat sulit untuk tidak menyerah.”
            “Ternyata kau hanya pandai menasehati orang lain.” Sindirnya pedas.
            “Memang.” Aku sudah terbiasa.
            “Ly, aku menyayangimu.”
            “Aku tau.”
            “Aku bahkan mencintaimu.”
            “Aku juga tau.”
            “Darimana?”
            “Blogmu.”
            “Benarkah?”
            “Ya... Nama tokoh utama di cerpen dalam blogmu, adalah akronim namaku.”
            “Libi?”
            “Dandelion Biru.”
            “Harusnya aku tahu kau cerdas!” Jawabnya malu.
            Aku tersenyum.
            “Ly...”
            “Ya...?”
            “Kau mau jadi pacarku?”
            Jantungku berdegub lima kali lipat. Rasa sesak memenuhi dadaku, membuatku sulit bernafas.
            “Kau tahu aku tidak bisa lama menemanimu.”
            “Ya, dan aku ingin sebentar saja membuatmu merasakan kasih sayang dariku.”
            “Aku sudah merasakannya.”
            “Sebagai seorang pacar.”
            Aku tersenyum lagi.
            “Ly...”
            “Aku mencintaimu.”
            “Berarti?”
            “Ya, aku mau jadi pacarmu.”
            Langit tidak mengucapkan apa-apa lagi. Hanya mendekapku dalam pelukan hangat dan kuat.
            “Lang...”
            Langit tidak menjawab. Tetap memelukku erat.
            “Lang...”
            Aku mulai kesulitan bernafas lagi. Sangat sesak.
            “Lang...”
            Kali ini aku terbatuk.
            Langit melepaskan pelukannya.
            “Astaga, kau pucat sekali!” Langit mulai panik.
            Aku sudah tidak bisa menjawab. Nafasku terlalu sesak, tubuhku lemas sekali.
            Langit menggendongku keluar sekolah, berlari sekuat yang ia bisa. Mencari taksi untuk mengantarkanku ke rumah sakit.
            “Langit...”
            “Diamlah Ly. Nanti kau tidak bisa bernafas.”
            “Dengarkan aku..”
            Langit masuk ke dalam taksi, sopir membantunya menidurkanku di jok belakang. Langit menemaniku sambil terus berteriak pada sopir untuk mengemudi kencang.
            “Bertahanlah.” Pintanya.
            “Dengar...”
            Langit menatapku dalam, tajam dan sedih.
            “Aku... sangat... mencintaimu...”
            Langit meneteskan air matanya. “Aku juga, Ly... Aku sangat mencintaimu. Bertahanlah, jangan tinggalkan aku. Kau tega melihatku sendiri ditinggal orang-orang yang sangat penting dan kucintai? Jangan menyusul Mama- Papaku, Ly. Tolong...”
            “Maaf...”
            Hanya itu yang bisa kuucapkan. Hanya satu kata itu. Padahal masih banyak yang ingin aku ucapkan. Aku masih ingin memberikan nasehat untuknya. Obskrutif kronis ini. Tuhan... Kenapa aku?
*          *          *
            Dandelion di sekitarku menyebar tertiup angin. Langit menangis, airmatanya sangat deras. Aku bisa merasakannya menetesi pusaraku.
Langit Hijau, 15-02-2012, 16:51