Rabu, 15 Februari 2012

Langit dan Dandelion


            “Aku ingin menanyakan sesuatu.” Tiba-tiba laki-laki tampan dengan wajah yang sangat kusut menarik tanganku. Membuatku terpksa meninggalkan teman-temanku.
            “Bisakah kau lebih sopan?” Protesku sambil mengikuti jalannya yang tergesa, entah menuju ke mana.
            “Maaf, ini penting Ly.” Yaa... Selalu begini. Langit akan segera menarik tanganku –tidak peduli aku sedang apa— ketika dia ingin meminta pendapat-pendapatku.
            “Tidak dengan cara seperti tadi, Lang! Kau membuat teman-temanku kecewa karena aku belum membantu mencarikan solusi permasalahan yang mereka keluhkan.” Sanggahku dengan nafas tersengal akibat berjalan terlalu cepat.
            “Tolong, Ly...” Langit merajuk, menghentikan langkahnya lalu membalikkan tubuhnya yang tegap. Menghadap ke arahku.
            “Sial!” Umpatku. Bukan, bukan karena kesal. Hanay saja tatapan matanya selalu membuatku lantak dan tidak lagi bisa mengelak.
            Langit tersenyum simpul melihat reaksiku. Melanjutkan langkahnya dengan tetap menggandeng tanganku. Bedanya, kali ini tidak tergesa-gesa.
            Aku Dandely, Dandelion –sebenarnya—. Teman-temanku sering memanggilku Bunda Ly. Terdengar tua ya? Sebenarnya aku masih kelas 2 SMA, menjalani masa terindah remaja. Tidak ada yang kurasa spesial dariku. Hobbyku-lah yang membuatku memiliki panggilan “Bunda”. Aku suka menasehati, sangat suka. Ketika teman-temanku mengeluhkan hidup dan permasalahannya padaku, aku mendengarkan dan berusaha memberikan solusi terbaik. Untung, selama ini belum ada yang menjauhi atau membenciku karena solusiku tidak tepat atau malah membuat mereka tambah kesusahan. Kata mereka, aku seperti Ibu mereka yang suka memberi arahan hidup ketika melakukan kesalahan. Bedanya, mereka merasa lebih terbuka dan santai ketika berkeluh-kesah padaku.
            Langit? Tanya siapa dia. Dia adalah laki-laki yang paling sering memuntahkan uneg-uneg hidupnya padaku. Meminta jawaban dan solusi terbaik yang bisa kuberikan. Aku menyukainya? Ya!
Aku menyayanginya? Mungkin...
Aku mencintainya? Sama sekali tidak tahu.
Langit menyukaiku? Sangat!
Langit menyayangiku? Tentu.
Langit mencintaiku? Pasti!
Darimana aku tahu semua itu? Tentu saja dari-
            “Duduk.” Langit melepaskan tanganku dari gandengannya, membuyarkan fikiran-fikiranku.
            “Mulailah.” Pintaku sambil menguap. Ngantuk, bukan bosan –aku TIDAK AKAN pernah bosan bersamanya—.
            “Aku tidak lolos audisi.” Jawabnya lesu.
            “Haa?” Aku tidak mengerti.
            “Audisi menggitar yang itu lho...” Langit mencoba menyadarkanku.
            “Oh, aku ingat.”
            “Jariku telunjuk kiriku terisris pisau saat menyiapkan sarapan. Beberapa jam sebelum audisi!” Emosinya mulai muncrat.
            “Hidup itu tidak adil.” Keluhnya lagi.
            “Kenapa kau bilang begitu?”
            “Kalau saja Mama belum meninggal, jariku tidak akan teriris pisau pagi tadi. Aku tidak perlu menyiapkan sarapan untuk diriku sendiri. Mama bisa menolongku. Begitu juga dengan perhatiannya. Kalau saja Mama masih bersamaku, beliau pasti akan mendukungku untuk audisi ini. Memicu semangatku. Aku sangat tidak bersemangat hari ini.” Langit mengeluh panjang.
            “Hmm... Lang. Yang pertama, kalau saja Mama-mu masih ada, jarimu tidak teriris pisau. Namun apakah kamu menjamin jari Mama-mu tidak akan teriris juga?”
            “Aku tidak menjamin, tapi mungkin saja tidak. Beliau kan sangat hati-hati.”
            “Aku terima jawabanmu. Yang kedua, Mama-mu selalu bersamamu, Lang. Tidak dalam raga yang selalu ada di sampingmu, namun dalam jiwa, cinta dan kasih yang selalu menyesaki hatimu. Di sini.” Aku menaruh telapak tanganku di dadanya. Aku bisa merasakan degub jantungnya. Kencang.
            “Tapi aku rindu pelukannya.” Airmatanya mulai menggenang, terlihat jelas Langit berusaha keras menahannya.
            “Mengislah jika itu akan membuatmu lega.”
            “Aku tidak ingin menangis.” Elaknya.
            “Oh ya?” Godaku sambil tersenyum nakal.
            “Jangan tersenyum seperti itu.” Jawabnya sambil menahan tawa.
            “Kenapa? Aku membuatmu ingin selalu mengejarku dengan senyuman itu?” Aku masih belum berhenti menggodanya.
            “Hentikan itu, Ly!” Pintanya.
            “Haha...” Aku tergelak.
            “Aku tetap berfikir bahwa hidup tidak adil.”
            “Hmm...” Aku menghela nafas, berusaha mencari nasehat untuknya.
            “Kau pernah melihat tukan buah mengendarai motor dengan 2 keranjang besar di sisi kiri dan kanannya? Membuat lebarnya sama seperti mobil.” Lanjutku.
            “Ya... Lalu?”
            “Menurutmu, apakah itu berat?”
            “Kalau buahnya banyak dan keranjangnya penuh. Ya.”
            “Kau pernah melihatnya melintasi jalan raya yang sempit dan macet? Membuatnya sangat kesulitan ketika ingin mendahului kendaraan lain yang ada di depannya?”
            “Tidak.”
            “Kau bisa membayangkan?”
            “Tidak ingin.”
            “Biar aku yang jelaskan. Hidup itu, tidak bisa kita paksakan untuk selalu longgar dan nyaman. Ada kalanya kita harus terhenti untuk menunggu atau bahkan mencoba sesuatu yang lain. Seperti penjual buah tadi. Dia terbebani dengan buah-buah di keranjangnya, namun dia harus menjualnya ke kota. Harus melintasi jalan yang seperti tadi. Itu tidak akan mudah. Harus penuh kesabaran dan akal. Ketika dia ingin mendahului kendaraan lain, dia harus berusaha keras. Bisa saja, kendaraan dari lajur yang berlawanan menabraknya. Begitu juga dengan hidup. Tidak bisa terburu-buru. Aku tau kau pasti terburu-buru ketika menyiapkan sarapan tadi. Makanya jarimu teriris.”
            “Ya kau benar.”
            “Namun, sejauh apapun perjalanan itu, jika mau terus berusaha, pasti akan sampai. Seperti hidup, jangan kau patahkan semangatmu. Masih ada banyak kesempatan yang terbuka, kau bisa mencoba lagi, tetap berusaha dan tidak menyerah. Manusia sering kali terperosok, itu biasa. Ketika manusia itu bisa bangkit dan keluar dari keterperosokannya, itu yang luar biasa. Kau tidak mau hanya jadi laki-laki biasa kan?” Tanyaku.
            “Tentu saja. Aku mengerti sekarang.”
            “Hebat.” Pujiku.
            Hening. Tidak lagi ada percakapan. Langit tidak menjawab perkataanku. Hanya tiupan angin sepoi yang membuat daun-daun pepohonan di tepi lapangan ini sedikit bergemerisik. Aku mengedarkan pandanganku. Sekolah sudah sepi, memang sudah lewat satu jam waktu pulang sekolah. Biar saja.
            Aku terkejut.
            “Sejak kapan dandelion tumbuh di sekolah kita?” Tanyaku.
            “Sudah lama.”
            “Benarkah?”
            “Aku pernah membohongimu?”
            “Tidak...” Aku berlari kecil, mengambil sebatang bunga dandelion dan membawanya duduk lagi di sebelah Langit.
            “Kamu tau kenapa aku suka namaku?” Tanyaku pada Langit.
            “Karena kamu ingin seperti bunga itu.”
            “Kamu tahu kenapa aku ingin seperti bunga ini?”
            “Indah, mungkin.”
            Aku menggeleng. “Karena ketika ada orang yang meniup ini, serpihannya akan tumbuh dandelion lain di tanah yang lain, dandelion tidak akan pernah habis.” Ujarku lalu meniup pelan dandelion di tanganku.
            “Apa hubungannya denganmu?”
            “Ya... Aku ingin, ketika suatu saat nanti aku mati, akan ada “aku” lain yang bisa membantu banyak orang dan bisa menjadi seorang psikolog. Cita-cita yang tidak akan pernah bisa kucapai.” Jawabku lemah.
            “Hei, jangan mulai lagi.”
            “Apa?”
            “Katamu tidak boleh putus asa? Katanya harus tetap berjuang untuk mencapai sesuatu yang kita inginkan.” Langit membalikkan nasehatku.
            “Lang... Untuk urusan ini, sangat sulit untuk tidak menyerah.”
            “Ternyata kau hanya pandai menasehati orang lain.” Sindirnya pedas.
            “Memang.” Aku sudah terbiasa.
            “Ly, aku menyayangimu.”
            “Aku tau.”
            “Aku bahkan mencintaimu.”
            “Aku juga tau.”
            “Darimana?”
            “Blogmu.”
            “Benarkah?”
            “Ya... Nama tokoh utama di cerpen dalam blogmu, adalah akronim namaku.”
            “Libi?”
            “Dandelion Biru.”
            “Harusnya aku tahu kau cerdas!” Jawabnya malu.
            Aku tersenyum.
            “Ly...”
            “Ya...?”
            “Kau mau jadi pacarku?”
            Jantungku berdegub lima kali lipat. Rasa sesak memenuhi dadaku, membuatku sulit bernafas.
            “Kau tahu aku tidak bisa lama menemanimu.”
            “Ya, dan aku ingin sebentar saja membuatmu merasakan kasih sayang dariku.”
            “Aku sudah merasakannya.”
            “Sebagai seorang pacar.”
            Aku tersenyum lagi.
            “Ly...”
            “Aku mencintaimu.”
            “Berarti?”
            “Ya, aku mau jadi pacarmu.”
            Langit tidak mengucapkan apa-apa lagi. Hanya mendekapku dalam pelukan hangat dan kuat.
            “Lang...”
            Langit tidak menjawab. Tetap memelukku erat.
            “Lang...”
            Aku mulai kesulitan bernafas lagi. Sangat sesak.
            “Lang...”
            Kali ini aku terbatuk.
            Langit melepaskan pelukannya.
            “Astaga, kau pucat sekali!” Langit mulai panik.
            Aku sudah tidak bisa menjawab. Nafasku terlalu sesak, tubuhku lemas sekali.
            Langit menggendongku keluar sekolah, berlari sekuat yang ia bisa. Mencari taksi untuk mengantarkanku ke rumah sakit.
            “Langit...”
            “Diamlah Ly. Nanti kau tidak bisa bernafas.”
            “Dengarkan aku..”
            Langit masuk ke dalam taksi, sopir membantunya menidurkanku di jok belakang. Langit menemaniku sambil terus berteriak pada sopir untuk mengemudi kencang.
            “Bertahanlah.” Pintanya.
            “Dengar...”
            Langit menatapku dalam, tajam dan sedih.
            “Aku... sangat... mencintaimu...”
            Langit meneteskan air matanya. “Aku juga, Ly... Aku sangat mencintaimu. Bertahanlah, jangan tinggalkan aku. Kau tega melihatku sendiri ditinggal orang-orang yang sangat penting dan kucintai? Jangan menyusul Mama- Papaku, Ly. Tolong...”
            “Maaf...”
            Hanya itu yang bisa kuucapkan. Hanya satu kata itu. Padahal masih banyak yang ingin aku ucapkan. Aku masih ingin memberikan nasehat untuknya. Obskrutif kronis ini. Tuhan... Kenapa aku?
*          *          *
            Dandelion di sekitarku menyebar tertiup angin. Langit menangis, airmatanya sangat deras. Aku bisa merasakannya menetesi pusaraku.
Langit Hijau, 15-02-2012, 16:51

Tidak ada komentar: